Pandangan Menkeu Terhadap Pemberdayaan Wanita

By Admin

nusakini.com--Masih dalam rangkaian kunjungannya ke acara IMF-World Bank Spring Meeting 2017, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjadi salah satu panelis dalam diskusi Boosting Women's Economic Empowerment di kantor pusat Bank Dunia, Washington, D.C, Amerika Serikat.

Acara yang hampir bertepatan dengan peringatan hari Kartini di Indonesia pada tanggal 21 April 2017 ini, mengulas mengenai pandangan pembuat kebijakan dari beberapa negara tentang pemberdayaan wanita. 

Meskipun kesempatan sekolah untuk pria dan wanita sama tetapi saat menempuh pendidikan lebih tinggi, mereka berpikir ulang. Menurutnya, di Indonesia masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam masalah pemberdayaan wanita. Utamanya faktor keluarga, agama, dan norma sosial. Bahkan untuk memasuki dunia kerja, perempuan biasanya lebih cepat menyerah atau lebih memilih berhenti mencapai level yang tinggi, dengan alasan akan menikah dan punya anak. 

Dalam dunia kerja contohnya, perempuan akan menghadapi kesulitan dalam mengambil keputusan. "Fase pertama, mereka akan sulit menentukan pilihan untuk melanjutkan karier. Dan apabila melanjutkan karier menjadi pilihan, maka setelah 5 tahun bekerja, perempuan akan dihadapkan pada beberapa pertanyaan. Diantaranya apakah akan menikah atau tidak, punya anak atau tidak, siapa yang akan mengasuh anak, atau apakah keluarga baru mengizinkan untuk bekerja atau tidak," ungkapnya. 

Ia menambahkan, diskriminasi sudah terjadi sejak lahir. “Anak laki-laki biasanya akan diberikan fasilitas yang lebih baik oleh orang tuanya karena sebagian besar menganut sistem patriarki di Indonesia, meskipun ada beberapa etnik yang menganut sistem matrilinial”, terangnya. 

Dalam menanggapi pertanyaan apa yang telah dilakukannya sebagai Menteri Keuangan untuk wanita, ia merespon dengan merevisi peraturan pajak penghasilan. 

“Dari sisi legislasi sebagai Menteri Keuangan 10 tahun lalu, saya merevisi peraturan pajak penghasilan. Bahkan wanita bisa memisahkan pajaknya dari suami saat menikah. Mereka bisa memiliki aset dan properti atas nama mereka sendiri juga memiliki akses terhadap keuangan perbankan”, ungkapnya. 

Di sisi lain, ia mengakui ada kelemahan keterlibatan wanita dalam literasi politik. “Indonesia pernah memiliki presiden wanita, punya beberapa menteri wanita namun partisipasi wanita di dalam politik masih tertinggal”, ungkapnya. 

Namun, ia ingin memastikan wanita mendapatkan perlakuan yang sama. “Untuk memastikan bahwa mereka tidak akan dimanjakan baik dalam norma sosial, hukum dan praktek sosial yang akan membatasi mereka,” ujarnya. (p/ab)